Indonesia saat ini menghadapi krisis literasi dan kemampuan dasar yang serius pada anak-anak. Berbagai survei dan data menunjukkan betapa mendesaknya masalah ini untuk segera diatasi demi masa depan pendidikan Indonesia. Artikel ini membahas krisis tersebut, kondisi kompetensi guru, perlunya peningkatan literasi yang kontekstual, langkah membangun fondasi literasi yang berkelanjutan, serta pentingnya literasi digital di seluruh ekosistem pendidikan. Harapannya, pemaparan ini dapat menggugah kesadaran dan mendorong upaya bersama menuju perbaikan pendidikan Indonesia.
Krisis Literasi dan Kemampuan Dasar Anak di Indonesia
Berbagai indikator global dan nasional mengungkap darurat literasi di kalangan pelajar Indonesia. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, misalnya, menunjukkan 70% siswa di Indonesia memiliki kemampuan baca rendah (di bawah Level 2 dalam skala PISA). Artinya, mayoritas anak bahkan tidak mampu sekadar menemukan gagasan utama atau informasi penting dalam teks pendek. Kondisi ini menempatkan Indonesia di peringkat bawah secara global – pada PISA 2018 Indonesia berada di posisi 72 dari 79 negara untuk literasi membaca dengan skor rata-rata 371 (jauh di bawah rata-rata OECD 487). Lebih memprihatinkan lagi, skor membaca siswa Indonesia pada PISA 2018 sama persis dengan hasil tahun 2000 ketika pertama kali ikut PISA, menandakan stagnansi selama hampir dua dekade.
Krisis kemampuan dasar tidak hanya tampak pada literasi membaca, tetapi juga numerasi dan keterampilan fundamental lain. Bank Dunia memperkenalkan istilah learning poverty (kemiskinan pembelajaran) untuk menggambarkan kondisi ini. Lebih dari sepertiga anak Indonesia mengalami learning poverty, artinya tidak mampu membaca dan memahami teks sederhana pada usia 10 tahun. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah yang masih bergulat dengan krisis pembelajaran dasar. Indikator nasional pun mengkonfirmasi problem tersebut: rata-rata nilai Ujian Nasional jenjang SMP tahun 2018 hanya 49,5 dari 100, di bawah ambang kelulusan 55. Data-data ini memberi pesan jelas bahwa terjadi krisis besar dalam literasi dan kemampuan dasar anak-anak kita, yang berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.
Kompetensi Guru: Kondisi Terkini dalam Literasi dan Mindset
Kualitas dan kompetensi guru sangat menentukan kemampuan literasi peserta didik. Sayangnya, berbagai survei menunjukkan kompetensi guru di Indonesia masih memerlukan perhatian serius. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) beberapa tahun terakhir menggambarkan hal yang mengkhawatirkan: “sekitar 81% guru di Indonesia tidak mencapai nilai minimum” dalam UKG. Bahkan, rata-rata nilai UKG secara nasional berada di sekitar 57 dari skala 100 – hanya sedikit di atas standar minimal pemerintah (55). Data dari Neraca Pendidikan Daerah 2019 tersebut mengindikasikan bahwa kompetensi guru stagnan dan belum meningkat signifikan, sehingga patut diduga menjadi salah satu sebab stagnansi kemampuan siswa.
Rendahnya kompetensi ini mencakup penguasaan materi, metode pengajaran, hingga literasi dan pola pikir (mindset) pendidik. Banyak guru masih terpaku pada pendekatan konvensional dan belum menjadikan literasi sebagai fokus utama pembelajaran. Laporan OECD setiap kali hasil PISA keluar selalu menyoroti kompetensi guru sebagai faktor kunci rendahnya capaian Indonesia. Pemerintah telah mengupayakan berbagai program peningkatan kompetensi, seperti Guru Penggerak dan penerapan Kurikulum Merdeka, untuk mengubah mindset guru agar lebih berorientasi pada pengembangan kompetensi dasar siswa. Namun tantangan masih besar. Di era digital, misalnya, hanya 40% guru yang mumpuni dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), sedangkan 60% sisanya memiliki penguasaan TIK yang terbatas. Keterbatasan ini menunjukkan banyak guru belum memiliki literasi digital memadai untuk memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran. Secara keseluruhan, kondisi ini menggambarkan perlunya peningkatan kompetensi literasi dan perubahan mindset guru secara menyeluruh agar mereka mampu menjadi fasilitator literasi yang efektif bagi siswa.
Perlunya Peningkatan Literasi yang Kontekstual dan Fleksibel
Melihat beragamnya tantangan di atas, peningkatan literasi perlu dilakukan menyeluruh dari sisi guru maupun siswa. Artinya, membangun budaya literasi bukan hanya tugas peserta didik, tetapi juga para pendidik. Guru yang literat akan mampu menularkan kecakapan membaca, menulis, dan bernalar kritis kepada murid-muridnya. Oleh karena itu, investasi pada pelatihan literasi untuk guru (terutama guru SD dan SMP) sama pentingnya dengan program literasi siswa. Penguatan kapasitas guru dalam pengajaran literasi menjadi krusial, seperti direkomendasikan Bank Dunia: “Strengthen teacher … and improve in-service teacher training especially in literacy instruction”. Guru yang kompeten dalam literasi dan memiliki growth mindset akan lebih adaptif menerapkan metode pengajaran yang mendorong anak gemar membaca dan berpikir kritis.
Selain itu, sistem pendidikan kita harus disesuaikan dengan keragaman budaya dan geografis Indonesia. Dengan lebih dari 17.000 pulau, 1.300 kelompok etnis, dan 700 bahasa daerah, Indonesia tidak bisa menerapkan pendekatan pendidikan yang seragam (one size fits all). Kenyataannya, literasi dan numerasi peserta didik Indonesia masih di bawah kompetensi minimal selama 10 tahun terakhir dan perbaikannya “belum signifikan akibat krisis pembelajaran yang bertahun-tahun merundung Indonesia”. Pihak Kemendikbudristek mengakui “krisis ini antara lain disebabkan karena ketimpangan antarwilayah dan kelompok sosial-ekonomi, serta disparitas teknologi pembelajaran”. Artinya, kondisi pendidikan di daerah terpencil berbeda jauh dengan di kota besar; tantangan di komunitas dengan bahasa ibu lokal berbeda dengan di wilayah berbahasa Indonesia sehari-hari. Pendekatan seragam nasional cenderung mengabaikan perbedaan konteks tersebut, sehingga efektivitasnya rendah di beberapa daerah.
Maka, diperlukan penyesuaian kurikulum dan metode mengajar yang kontekstual. Sebagai contoh, materi literasi di daerah pedesaan atau berbahasa daerah sebaiknya memasukkan konteks lokal dan penggunaan bahasa yang mudah dipahami anak. Fleksibilitas kurikulum melalui Kurikulum Merdeka diharapkan menjadi langkah ke arah ini, memberi ruang bagi sekolah untuk mengadaptasi pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. Kebijakan pendidikan perlu memberi otonomi dan dukungan bagi guru untuk berinovasi sesuai situasi lapangan. Dengan demikian, kualitas literasi dapat ditingkatkan secara merata di seluruh Nusantara, karena pendekatan yang peka budaya dan geografi akan lebih efektif dibanding resep tunggal nasional.
Membangun Fondasi Literasi yang Kuat dan Berkelanjutan
Untuk keluar dari krisis ini, Indonesia harus membangun fondasi literasi yang kuat sejak dini secara berkelanjutan. Berikut beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:
Pendidikan usia dini dan dasar yang fokus pada literasi: Kemampuan literasi harus mulai dibangun pada usia emas. Penelitian menunjukkan investasi pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berkualitas memberikan dampak besar bagi kemampuan membaca nantinya. Bank Dunia merekomendasikan pendanaan untuk menjamin dua tahun pendidikan pra-sekolah yang bermutu. Di sekolah dasar, kurikulum perlu memastikan semua siswa menguasai keterampilan membaca dasar pada kelas awal. Program transisi bagi siswa yang tertinggal juga perlu disiapkan agar tidak ada yang terlewat.
Penyediaan bahan bacaan bermutu dan lingkungan literasi: Akses terhadap buku dan bacaan berkualitas masih menjadi kendala di banyak daerah. Pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat ketersediaan bahan bacaan. Langkah nyata telah dimulai – pada tahun 2022, Kemendikbudristek melalui Badan Bahasa telah menyediakan lebih dari 15 juta eksemplar buku bacaan bermutu disertai dengan pelatihan dan pendampingan untuk lebih dari 20 ribu PAUD dan SD yang paling membutuhkan di Indonesia. Ini merupakan distribusi buku terbesar sepanjang sejarah Kemendikbudristek. Upaya seperti Gerakan Literasi Nasional juga perlu terus digalakkan untuk menumbuhkan budaya membaca di sekolah dan komunitas. Selain buku fisik, perpustakaan digital dan pojok baca di setiap kelas dapat dikembangkan untuk memperluas jangkauan literasi.
Peningkatan kompetensi dan penguatan peran guru: Guru adalah ujung tombak literasi. Karena itu, pelatihan guru berkelanjutan khususnya dalam pengajaran literasi perlu ditingkatkan. Guru perlu dibekali strategi mengajar membaca yang efektif, teknik menarik minat baca, hingga pemanfaatan teknologi untuk literasi. Karier guru juga dapat diikat dengan peningkatan kemampuan ini – misalnya, memberikan insentif bagi guru yang berprestasi meningkatkan literasi siswa atau yang bersedia mengabdi di daerah terpencil. Pemerataan distribusi guru berkualitas juga penting: guru terbaik harus didorong untuk mengajar di sekolah-sekolah yang kekurangan (dengan insentif khusus). Komunitas praktisi antar-guru bisa dibentuk untuk saling berbagi praktik baik meningkatkan literasi di kelas.
Pelibatan orang tua dan masyarakat: Fondasi literasi akan lebih kokoh jika didukung lingkungan rumah dan komunitas. Orang tua perlu diedukasi tentang pentingnya membaca bagi anak dan diajak aktif mendampingi anak membaca di rumah. Program orang tua membaca buku bersama anak, penyediaan sudut baca di tempat publik, hingga lomba-lomba literasi di tingkat komunitas bisa menjadi bagian upaya berkelanjutan. Dengan dukungan seluruh ekosistem – sekolah, keluarga, dan masyarakat – budaya literasi akan tertanam lebih dalam dan mencegah terjadinya kembali krisis di masa depan.
Perbaikan tidak akan instan, tetapi tanda kemajuan mulai terlihat. Sejak peluncuran inisiatif Merdeka Belajar pada 2019, proporsi siswa yang mencapai kompetensi minimal literasi meningkat 14% dan numerasi naik 27%. Capaian ini menunjukkan bahwa dengan intervensi yang tepat dan konsisten, fondasi literasi anak Indonesia dapat diperkuat secara bertahap.
Pentingnya Literasi Digital di Semua Ekosistem Pendidikan
Di era abad ke-21, literasi dasar harus dilengkapi dengan literasi digital. Transformasi digital di bidang pendidikan semakin masif, terlebih pascapandemi. Literasi digital tidak hanya tentang kemampuan teknis mengoperasikan perangkat, tetapi mencakup kecakapan memanfaatkan teknologi informasi secara aman, etis, dan efektif untuk belajar. Menurut UNESCO, literasi digital adalah kemampuan untuk mengakses, mengelola, memahami, mengintegrasikan, berkomunikasi, mengevaluasi, dan membuat informasi secara aman dan tepat melalui teknologi digital. Definisi ini menekankan bahwa literasi digital mencakup berbagai aspek: mulai dari keterampilan menemukan informasi di internet, berpikir kritis terhadap konten online, hingga kemampuan menghasilkan karya dan berkomunikasi di ruang digital dengan bertanggung jawab.
Pembangunan literasi digital di ekosistem pendidikan Indonesia sangat penting agar siswa, guru, dan masyarakat tidak tertinggal dalam arus global. Kerangka literasi digital tingkat global dari UNESCO tahun 2018 mencakup tujuh area kompetensi digital (perangkat lunak & keras, informasi & data, komunikasi & kolaborasi, penciptaan konten digital, keamanan, penyelesaian masalah, dan kompetensi karir). Indonesia telah mengadopsi prinsip-prinsip ini dalam kerangka nasionalnya. Kerangka literasi digital Indonesia terdiri dari empat komponen utama, yaitu keterampilan digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital. Keempat pilar ini dijabarkan ke dalam 31 indikator yang digunakan untuk mengukur Indeks Literasi Digital nasional setiap tahun. Hasil survei Kemenkominfo dan Katadata menunjukkan Indeks Literasi Digital masyarakat Indonesia tahun 2022 berada di skor 3,54 dari 5, meningkat dari 3,49 di 2021. Meski meningkat, level ini masih kategori “sedang”, sehingga perlu ditingkatkan lagi agar seluruh warga terutama generasi muda memiliki kecakapan digital mumpuni.
Di lingkungan sekolah, literasi digital harus dikuasai oleh semua pihak: siswa, guru, dan tenaga kependidikan. Bagi siswa, literasi digital memungkinkan akses sumber belajar yang tak terbatas sekaligus melatih mereka belajar mandiri. Namun, tanpa bimbingan yang tepat, siswa juga rentan terhadap konten daring yang merusak. UNESCO mencatat bahwa dengan maraknya teknologi, siswa semakin sering terpapar mis/disinformasi dan ujaran kebencian di internet, sementara guru sering kali kekurangan sumber daya untuk membantu siswa menghadapi risiko konten berbahaya tersebut. Di sinilah pentingnya peran guru yang literat digital: guru perlu dibekali kemampuan media and information literacy untuk membimbing siswa memilah informasi, berpikir kritis, dan berperilaku aman di dunia maya.
Kenyataannya, tantangan literasi digital bagi guru kita masih besar. Seperti disebutkan sebelumnya, hanya 40% guru yang merasa nyaman menggunakan TIK dalam pembelajaran. Oleh karena itu, integrasi literasi digital dalam pelatihan guru sangat mendesak. Keterampilan seperti pembuatan konten pembelajaran digital, pemanfaatan platform e-learning, hingga perlindungan data dan keamanan online perlu menjadi bagian dari kompetensi dasar guru modern. Pemerintah telah mengarah ke sana dengan merilis kerangka kompetensi digital guru (misalnya Perdirjen GTK Nomor 2626/2023) dan menyediakan Platform Merdeka Mengajar yang memfasilitasi peningkatan kemampuan TIK guru. Upaya ini perlu dipercepat dan diperluas ke semua guru, termasuk di daerah terpencil, agar tidak ada kesenjangan digital antarwilayah.
Terakhir, literasi digital bagi orang tua dan masyarakat juga perlu ditumbuhkan sebagai bagian dari ekosistem pendidikan. Orang tua yang melek digital dapat memantau dan mendampingi aktivitas online anak-anaknya dengan bijak. Masyarakat yang literat digital akan lebih tanggap terhadap hoaks dan mendukung pemanfaatan teknologi secara positif. Kerangka literasi digital UNESCO dan adaptasinya di Indonesia dapat dijadikan acuan dalam menyusun program peningkatan kapasitas di level komunitas, misalnya melalui pelatihan literasi digital berbasis desa/kelurahan. Dengan demikian, literasi digital tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi gerakan bersama di semua lini.
Penutup: Bersama Membangun Masa Depan Pendidikan Indonesia
Krisis literasi dan kemampuan dasar anak Indonesia adalah alarm bagi kita semua – pemerintah, pendidik, orang tua, dan masyarakat umum – untuk segera bertindak. Data-data di atas mungkin terdengar suram, namun harapan selalu ada. Berbagai kebijakan Merdeka Belajar, investasi pada guru, distribusi buku bacaan, hingga inisiatif literasi digital mulai menunjukkan hasil positif. Peringkat Indonesia di PISA 2022 dilaporkan naik beberapa posisi dan proporsi siswa dengan kemampuan minimum meningkat, menandakan perubahan arah yang tepat.
Tentu, perjalanan masih panjang. Fondasi literasi yang kuat tidak bisa dibangun dalam semalam; ia memerlukan upaya berkelanjutan dan kolaboratif. Namun, dengan kesadaran yang kian tumbuh dan kemauan kolektif, kita dapat mengubah krisis ini menjadi titik balik. Bayangkan sebuah Indonesia di mana setiap anak, dari Sabang sampai Merauke, mampu membaca dengan penuh pemahaman, menulis dengan percaya diri, dan berpikir kritis menghadapi dunia. Bayangkan para guru yang kompeten dan adaptif, yang menginspirasi murid-muridnya untuk mencintai belajar sepanjang hayat. Itulah visi yang harus kita tuju.
Mari menjadikan peningkatan literasi – termasuk literasi digital – sebagai gerakan nasional. Setiap buku yang dibaca anak, setiap guru yang berinovasi di kelas, dan setiap keluarga yang mendukung pendidikan, adalah satu bata dalam pondasi kokoh pendidikan Indonesia. Dengan pondasi literasi yang kuat dan merata, anak-anak Indonesia akan tumbuh menjadi generasi emas yang siap membangun negeri. Dari krisis literasi ini, kita bangkit bersama menuju masa depan pendidikan Indonesia yang lebih cerah, inklusif, dan berdaya saing.
Sumber Referensi:
- Kurniawan, E. (2020). Kurangnya Perpustakaan dan Bacaan Berkualitas Sebabkan Indonesia Darurat Literasi. The Conversation/SMERU.
- Kemendikbudristek. (2024). Peringatan Hari Buku Nasional 2024: Peluang Benahi Literasi dan Numerasi melalui Buku Bacaan Bermutu. Siaran Pers Kemendikbudristek.
- World Bank. (2019). Indonesia PISA 2018 Brief. World Bank Education Brief.
- Pryce, R. (2019). Pernyataan Bank Dunia tentang Learning Poverty Indonesia. (Dilaporkan oleh Antara News)
- Situmorang, R. (2022). Guru Layak Mengajar. Kompas.id
- Effendi, M.I. (2023). Kondisi Guru di Indonesia: Kuantitas dan Kualitas. Kumparan
- OECD. (2018 & 2022). Hasil PISA Indonesia (laporan dan siaran pers terkait)
- Law, N. et al. (2018). A Global Framework of Reference on Digital Literacy Skills for Indicator 4.4.2. UNESCO Institute for Statistics
- Katadata Insight Center & Kominfo. (2022). Status Literasi Digital di Indonesia 2022. Kemenkominfo RI
- Liputan6. (2023). Literasi Digital adalah: Pengertian, Manfaat, dan Penerapannya.
- Detik News. (2023). Menimbang Kompetensi Baru Guru Indonesia.
- UNESCO. (2024). Unleashing innovation: Embracing digital transformation in education in Indonesia.
- UNESCO. (2024). UNESCO empowers Indonesian teachers to tackle harmful content online.